Minggu, 05 Juli 2015

Arsitektur Masjid Agung Demak


Masjid Agung Demak

Arsitektur Islam

Masjid ini dibangun sekitar abad ke-15 Masehi atau pertengahan abad ke-9 Hijriyah.

Penyebaran agama Islam di tanah Jawa tak lepas dari pengaruh akulturasi budaya, khususnya dengan budaya lokal. Akulturasi ini merupakan manifestasi dari pengaruh peradaban dan budaya yang begitu mendominasi masyarakat Jawa pada saat itu.

Bahkan, pada hampir semua tatanan sosial masyarakat, budaya dan peradaban menjadi objek akulturasi ini. Hingga para penyebar agama Islam di tanah Jawa memilihnya sebagai ruang untuk mentransformasikan budaya asli (lokal) ke dalam nilai-nilai Islami.

Nuansa kental akulturasi ini setidaknya masih dapat dilihat dari berbagai saksi sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa, salah satunya Masjid Agung Demak. Masjid Demak yang merupakan peninggalan bersejarah kerajaan Islam Demak ini, tetap berdiri kokoh di Jl Sultan Patah, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jateng.

Masjid kebanggaan warga ‘Bintoro’–sebutan tlatah Demak ini–memiliki ciri arsitektur yang khas. Pengaruh akulturasi menjadikan masjid yang berdiri di atas lahan seluas 11.220 meter persegi ini memiliki perbedaan mencolok dengan tempat ibadah Muslim di Tanah Air pada umumnya.

Sebagai salah satu bangunan masjid tertua di negeri ini, Masjid Agung Demak dibangun dengan gaya khas Majapahit, yang membawa corak kebudayaan Bali. Gaya ini berpadu harmonis dengan langgam rumah tradisional Jawa Tengah.

Persinggungan arsitektur Masjid Agung Demak dengan bangunan Majapahit bisa dilihat dari bentuk atapnya. Namun, kubah melengkung yang identik dengan ciri masjid sebagai bangunan Islam, malah tak tampak. Sebaliknya, yang terlihat justru adaptasi dari bangunan peribadatan agama Hindu.

Bentuk ini diyakini merupakan bentuk akulturasi dan toleransi masjid sebagai sarana penyebaran agama Islam di tengah masyarakat Hindu. Kecuali mustoko (mahkota–Red) yang berhias asma Allah dan menara masjid yang sudah mengadopsi gaya menara masjid Melayu.

Keunikan akulturasi semacam ini, setidaknya juga berakar pada Masjid Menara, Kudus, Kabupaten Kudus, yang terletak sekitar 35 kilometer sebelah timur kota Demak.Hal ini menunjukkan bahwa para ulama penyebar tauhid (Islam–Red) di tanah Jawa memiliki kemampuan untuk mengharmonisasi kehidupan sosial di tengah masyarakat Hindu yang begitu dominan, ketika itu.

Dengan bentuk atap berupa tajug tumpang tiga berbentuk segi empat, atap Masjid Agung Demak lebih mirip dengan bangunan suci umat Hindu, pura yang terdiri atas tiga tajug. Bagian tajug paling bawah menaungi ruangan ibadah. Tajug kedua lebih kecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Sedangkan tajug tertinggi berbentuk limas dengan sisi kemiringan lebih runcing.

Sejumlah pakar arkeolog menyebutkan, bentuk bangunan seperti ini dipercaya juga menjadi ciri bangunan di pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Namun, penampilan atap masjid berupa tiga susun tajug ini juga dipercaya sebagai simbol Aqidah Islamiyah yang terdiri atas Iman, Islam, dan Ihsan.

Raden Fatah
Fakta lain sejarah kedekatan gaya Majapahit dengan bangunan Masjid Agung Demak juga dapat diketahui dari buku Babad Demak . Menurut buku tersebut, tempat berdirinya Masjid Agung yang kini menjadi ciri khas daerah Demak ini dahulunya bernama tlatah Glagahwangi.

Daerah Glagahwangi yang merupakan kawasan rawa (payau) ini pertama kali dibuka oleh Raden Patah, putra Prabu Kertabumi atau Brawijaya V dengan putri Campa (Kamboja) yang telah masuk Islam. Raden Patah yang masa kecilnya dihabiskan di Pesantren Ampel Denta, Surabaya, yang dikelola Sunan Ampel inilah yang kelak mendirikan Kesultanan Demak.

Ia pernah diangkat menjadi adipati Demak. Dari perjalanan sejarah ini, Raden Patah diperkirakan sangat akrab dengan gaya dan arsitektur Majapahit. Sehingga, hal ini banyak dihubungkan ketika membuka lahan Glagahwangi.

Sementara aksen bangunan Jawa yang sangat kental adalah empat soko guru atau tiang kokoh penyangga atap bangunan masjid yang bertumpuk. Soko guru ini juga bergaya bangunan Majapahit. Yang menarik dari Masjid Agung Demak adalah sistem struktur empat soko gurunya. Empat tiang besar setinggi 19,54 meter dan berdiametar 1,45 meter ini dipercayai merupakan ‘sumbangan’ empat wali penyebar Islam di Jawa.

Keempat soko guru ini berdiri kokoh di ruang utama masjid yang dikonstruksi di empat penjuru arah. Soko guru barat laut merupakan sumbangan Sunan Sunan Bonang dan soko guru timur laut sumbangan Sunan Kalijaga. Sementara soko guru arah tenggara, sumbangan Sunan Ampel dan soko guru sebelah barat daya merupakan sumbangan dari Sunan Gunung Jati.

Berdasarkan cerita yang disadur dari Babad Demak , soko guru yang dibuat Sunan Kalijaga memiliki keunikan dibandingkan tiga soko guru lainnya. Soko ini sering disebut sebagai soko ‘tatal’ atau tiang yang disusun dari serpihan kayu dengan cara dipasak dan diikat menjadi batang tiang besar dengan menggunakan perekat damar. Setelah kokoh, ikatannya dilepas dan teksturnya dihaluskan.

Keempat soko ini menahan beban bagian atap tertinggi. Sedangkan untuk menopang tajug yang lebih rendah, juga masih terdapat tiang di sekeliling soko guru. Ilmu arsitektur dengan membagi beban seperti ini menunjukkan teknologi dalam memakai struktur rumah Jawa, untuk membentuk bangunan yang luas dan kokoh, sudah sangat dikuasai.

Di masjid ini, setidaknya ada tiga arah pintu masuk ke dalam bangunan utama masjid. Sedangkan pintu di tengah, langsung mengantarkan ke serambi masjid. Serambi masjid ini seluas 31×15 meter dan berlantaikan teraso berukuran 30×30 sentimeter yang sering disebut sebagai ‘Serambi Majapahit’.

Disebut serambi Majapahit karena serambi ini memiliki delapan tiang penyangga bergaya Majapahit dan diperkirakan berasal dari kerajaan Majapahit. Bangunan serambi ini merupakan bangunan tambahan yang dibangun pada masa Adipati Unus atau yang terkenal dengan sebutan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor saat menjadi sultan Demak kedua pada tahun 1520.

Ruang utama yang berfungsi sebagai tempat shalat jamaah, letaknya di bagian tengah bangunan. Sedangkan, mihrab atau bangunan pengimaman berada di depan ruang utama, berbentuk sebuah ruang kecil dan menghadap ke arah kiblat. Di dalam ruang utama masjid, juga terdapat pawestren atau ruangan untuk shalat bagi wanita, dengan luas 15×17,30 meter yang terletak di sisi selatan masjid.

Ruang shalat wanita ini dibangun pada 1866 ketika KRMA Arya Purbaningrat menjadi adipati Demak. Atapnya berbentuk limas, disangga delapan pilar bergaya Majapahit. Masih ada napas akulturasi pada bagian interior masjid. Perubahan dari tata cara berserah kepada sang pencipta agama Hindu di ruang terbuka ke dalam masjid memunculkan ide untuk membuat interior masjid menjadi lebih luas.

Kesan luas ini bisa disaksikan pada bagian ruang utama masjid yang berukuran 25×26 meter yang mampu menampung lebih dari 500 jamaah ini. Di sebelah kanan ruangan utama, terdapat ruang khalwat. Ruang perenungan berukuran 2×2,5 meter ini dulunya dipakai para penguasa Kesultanan Demak untuk memohon petunjuk Allah SWT.

Hampir sekujur ruangan ini dipenuhi ukiran model Majapahit. Pada salah satu sudutnya terdapat relief aksara Arab yang memuliakan kebesaran Allah SWT. Sementara itu, di luar bangunan utama, di kompleks masjid Agung Demak juga terdapat beberapa bangunan pendukung.

Di kompleks masjid, terdapat 60 pusara makam pejuang Muslim Demak dan para pengikutnya. Antara lain, para sultan Demak, seperti Raden Patah, Pati Unus, dan Sultan Trenggono. bowo pribadi

Aset Wisata Religi

Berdasarkan catatan sejarah yang ada di Museum Masjid Agung Demak, bangunan masjid simbol akulturasi ini berdiri sekitar abad ke-15 Masehi. Hal ini dapat diketahui dari prasasti sekaligus petunjuk waktu Jawa (candrasengkala) yang terukir pada pintu utama yang ada di tengah masjid.

Mengenai kapan masjid ini didirikan ada sejumlah petunjuk. Raden Patah bersama Wali Songo disebut-sebut mendirikan masjid ini dengan memberi prasasti bergambar bulus (sejenis kura- kura). Hal ini sesuai dengan penanda waktu dengan arti Sariro Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka yang terdapat dalam dinding mihrab bagian dalam.

Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka satu (1), kaki empat berarti angka empat (4), badan bulus yang bulat berarti angka nol (0), serta ekor bulus berarti angka satu (1). Dari petunjuk ini bisa disimpulkan, Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka. Namun, dalam prasasti itu yang tertulis di pintu utama terdapat kalimat naga mulat salira wani . Artinya, dalam penanda waktu ini tertulis tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi atau tahun 887 Hijriyah.

Petunjuk inilah yang akhirnya diyakini sebagai awal dibangunnya Masjid Agung Demak oleh para Wali Songo untuk mendukung penyebaran Islam di tanah Jawa. Sejak pertama kali didirikan, Masjid Agung Demak baru dipugar pertama kali oleh Raja Mataram Paku Buwono I, pada tahun 1710. Pemugaran ini dilakukan untuk mengganti atap sirap yang sudah lapuk.

Perluasan besar-besaran untuk menjadi masjid agung diperkirakan berlangsung pada 1504-1507. Pada masa itu, penyebaran agama Islam makin meluas di wilayah Demak. Sementara itu, pembangunan menara azan baru dilakukan pada Agustus 1932. Bangunan menara dengan kubah bergaya Melayu ini berkonstruksi baja. Pembuatan menara azan ini konon menelan biaya 10 ribu gulden.

Masjid Agung Demak terletak di sebelah barat alun-alun kota Demak. Umumnya, tata letak kota kuno di Jawa selalu menempatkan alun-alun sebagai ruang publik. Hingga kini, peran Masjid Agung Demak tak banyak berubah. Bahkan, masjid ini juga menjadi aset wisata religi yang ramai disinggahi para wisatawan, baik mancanegara maupun wisatawan Nusantara. Pasalnya, selain makam para pejuang Muslim kesultanan Demak, juga terdapat museum yang menyimpan sejarah masjid, benda- benda bersejarah Kesultanan Demak, perpustakaan, serta wisma tamu.

Sumber : jakarta45.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar